#maaf kalau ada yang salah :)
Amanat Hidup
Sambil memasang sebuah headset , aku menidurkan wajahku ke atas
meja. Haah bosan, batinku. Yah salah satu hal yang membuat pelajar sepertiku
bosan adalah menunggu guru datang saat jam pelajaran terakhir. Rasanya selalu
ingin tidur. Dan benar, beberapa menit kemudian akupun tertidur lelap.
“Oy,oy bangun gurunya udah datang lho”,
ucap temanku. Beberapa kata yang sebenarnya malas untuk aku dengarkan, namun
aku tetap berusaha untuk membangunkan diri. “Oy,oy headset! headset!” ,sambung
temanku. Tersentak akupun langsung sadar dan segera melepas headset-ku.
Ternyata benar, gurunya telah
datang. Sesosok guru bahasa Indonesia, walau terlihat seperti tak
menghiraukanku namun aku tetap berusaha untuk mengilangkan wajah mengantukku. Tak
banyak materi yang ia berikan kepada kami namun di akhir pelajaran dia memberikan
sebuah tugas kepada kami yaitu membuat kelompok dan mewawancarai orang – orang
yang kurang mampu, aku tak menghiraukannya.
Tiga
minggu berlalu semenjak tugas itu dan kelompokku mencari – cari seorang
target tetap. dan akhirnya di suatu desa yang jauh dari perkotaan, kami menemukan
satu target tetap. Dalam wawancara itu kami tahu bahwa target kami bernama Bapak Jukri, seseorang
Bapak yang memiliki kehidupan yang sangat kurang beruntung. Bapak yang umurnya
sudah 80 tahun lebih ini mempunyai masa lalu yang sangat suram. Saat ia masih
di bangku sekolah dasar, ia tidak boleh membaca buku karena pada masa itu masih
pada masa kolonial Belanda, yang melarang rakyat Indonesia untuk belajar. Jika
memaksa maka ia dan pelajar – pelajar lainnya akan dihukum mati. Itulah kenapa
sekarang Bapak Jukri hidup susah karena nilai pendidikannya yang sangat rendah.
Walaupun begitu ia tetap menjalani kehidupannya dengan tabah. Dan ternyata ia mempunyai seorang istri yang bernama Bu Jami’ah. Umurnya lebih muda sedikit dari Bapak Jukri namun badannya tetap terlihat sehat. Dan ia dikaruniai dua orang putri yang sudah bekerja. Walaupun penghasilannya kurang.
Bapak Jukri dan istrinya tinggal di
sebuah rumah yang sebenarnya tak pantas untuk di tinggali, dinding yang tidak terbuat
dari batu bata, atap yang sudah berlubang, kandang kambing yang jaraknya hanya
1 langkah dari rumah, dan tanpa kamar mandi. Sementara kedua anaknya tinggal di
rumah temannya dan jarang sekali pulang ke rumah. Walaupun begitu mereka tetap
tegar dan berusaha untuk menikmati hari - harinya dengan baik. Bapak Jukri
bekerja sebagai buruh tani, walau penghasilannya kurang, namun ia tetap
mensyukuri apa yang ada.
Di sela – sela waktu kami sempat mencoba
untuk mengabadikan momen – momen berharga kami bersama Bapak Jukri dan sebelum
pulang Bapak Jukri memberikan sepatah kata untuk kami yaitu “belajarlah yang
rajin, jangan sia – siakan pengorbanan orang tuamu dan saya do’akan kalian
sukses di masa depan” kami pun membalas dengan kata “Amin” dan terima kasih
lalu berpamitan.
Satu tahun berlalu semenjak wawancara
itu, aku mendengar bahwa Bapak Jukri telah di bantu oleh seorang dermawan yang
sangat kaya. Penasaran akan hal itu, aku mencoba untuk memastikannya. Aku tak
perlu susah – susah untuk ke rumah Bapak Jukri karena jarak rumahku dengan rumah beliau
tidaklah terlalu jauh. Sesampainya di depan rumah Bapak Jukri aku melihat
beberapa orang sedang memindahkan barang – barang Bapak Jukri. Beberapa saat
kemudian akupun bertemu dengan Bapak Jukri dan kamipun mulai mengobrol sedikit.
Aku pun tahu bahwa mereka benar – benar di bantu oleh seorang dermawan. Ceritanya
berawal beberapa hari yang lalu saat Bapak Jukri pulang dari bersawah, di pinggir
jalan ia menemukan seorang anak perempuan yang sedang menangis sendirian . Tak
tega melihatnya Bapak Jukri langsung menanyakan kepada anak itu mengapa ia menagis, anak itu menjawab bahwa ia tersesat
dan tak tahu arah jalan pulang. Semakin tak tega Bapak jukri pun mengajaknya
pulang dan anak itu hanya bisa mematuhinya.
Sesampainya di rumah sebenarnya Bu Jami’ah
kurang setuju dengan Bapak Jukri karena hal ini bisa menyebabkan masalah. Namun
dengan alasan – alasan tertentu yang di berikan oleh Bapak Jukri Bu Jami’ah
hanya bisa menurutinya. Di rumah yang kurang nyaman anak yang diketahui bernama
Irina itu diperlakukan dengan baik oleh Bapak Jukri dan Ibu Jami’ah, walaupun
sebenarnya mereak merasa sangat susah untuk mengurus anak kecil di sela – sela pekerjaan
dan umur mereka. Namun tak hanya itu, mereka juga meminta tolong kepada warga
sekitar untuk mencari orang tua Irina. dan beberapa hari kemudian, berkat
bantuan seorang warga Irina pun dapat bertemu orang tuanya. Ternyata orang tua
Irina adalah seorang yang sangat kaya, keluarganya mempunyai sebuah perusahaan
yang cukup besar dan terkenal. Sebagai tanda terimakasih Orang tua Irina
memberikan bantuan kepada keluarga Pak Jukri dan inilah hasilnya, sekarang
mereka hidup dengan berkecukupan atau bisa di bilang kaya. Dan sebentar lagi
mereka akan tinggal di tengah kota, menempati sebuah rumah yang cukup mewah.
Walaupun begitu mereka tidak terlihat sombong.
Mungkin karena berfikir bahwa mereka sudah tua, mereka tak memikirkan kehidupan
yang mewah atau semacamnya. Justru mereka memberi kesempatan kepada kedua
anaknya untuk melanjutkan kuliahnya. Maklum dulu mereka tak bisa mengkuliahkan
kedua anaknya karena keterbatasan biaya. Tidak hanya itu, mereka juga memberi
kesempatan orang – orang lain yang kurang mampu juga, kata Bapak Jukri setelah
pindah ia akan membangun sebuah Panti Jompo yang letaknya tak jauh dari kota.
Kebaikan mereka tak berubah walaupun sudah menjadi kaya, jarang – jarang ada
orang seperti mereka dan aku merasa sangat beruntung dapat bertemu bahkan kenal
dengan mereka. Namun di akhir – akhir obrolan kami dengan sedikit tersenyum beliau
memberitahukan impiannya dari dulu kepadaku yaitu “ Naik Haji ” bersama
keluarganya. Akupun hanya bisa tersenyum gembira dan mengucapkan kata “Amin” di
dalam hati.
TAMAT
1 komentar:
cerpennya bagus... :)
followbac blog ku yahh...
http://favouritesix.blogspot.com
Posting Komentar